Rengga Permana's Zone

Thursday, July 7

Perasaan Tak Bisa Berbohong

“Wan, pinjam novel yang kemaren dong”, kata Luna siang itu di depan kelasku. Aku menoleh. ”Boleh, ambil aja di tasku”. Aku dan Luna berteman selama lebih dari 3 tahun. Aku sangat tau perangainya dan sebaliknya. Kualihkan pandanganku ke sosok imut di belakang Luna. Ada seorang cewek yang sangat menarik hatiku. Dengan rambutnya yang sebahu, matanya yang indah, dan pipinya yang tembem yang membuatku gemas. ”Na, kenalin dong”, bisikku ke Luna. ”Oh iya, nih perkenalkan teman sekelasku. Namanya Lintang. Lengkapnya Lintang Dea Lavina”, katanya. ”Hai, Dea... Aku Awan”, kataku memperkenalkan diri dan menyalaminya. ”Salam kenal Wan”, katanya. Sungguh suara yang sangat merdu sekali di telingaku. ”Kamu sekelas ya ama Luna ? Di kelas 1-E kan?”. ”Ya”, jawabnya sambil tersenyum. ”De, ati-ati aja kalo kenal ama Awan”, kata Luna yang tiba-tiba muncul. ”Udah jangan dengerin omongan Luna. Udah ambil novelnya Na ?”. ”Udah, aku pinjem dulu ya”, kata Luna sambil kembali ke kelasnya.

Sampai rumah aku tetap terbayang wajah imut Dea. Lintang Dea Lavina. Nama itu selalu terbang berkeliling di kepalaku. Ternyata ada juga cewek imut di sekolahku yang mayoritas cowok. Aku jadi ingin lebih mengenalnya.

1 Semester berlalu. Ternyata selama 6 bulan ini hubunganku dengan Dea tidak ada perkembangan. Hanya sekedar kenal dan saling menyapa saja. Aku belum berani untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya ke Dea. ”Wan, kamu tahu Dea anak 1-E ? Menurutmu dia gimana? Cocok nggak kalau aku jadi pacarnya ?”, tanya Andi tiba-tiba. Wah, bagai petir di siang hari. Ternyata Andi juga menaruh hati kepada Dea. Andi adalah sahabatku. Aku mengenal dia sejak sekolah di sekolah ini. Andi sangat aktif di kegiatan-kegiatan sekolah, terutama basket. ”Wan, gimana? Kamu tau nggak? Jawab dong”, katanya. ”Oh,.. Dea anak 1-E itu ya. Kenapa ? Kamu ada hati juga ama dia?”, tanyaku basa basi. ”Juga? Emangnya ada anak lain yang suka ama Dea?”, tanya Andi curiga. ”Wadaw, celaka. Aku salah ngomong”, umpatku dalam hati. ”Eh, mmmm.... nggak tau juga sih. Tapi bisa aja kan ada anak lain yang suka ama dia. Dia kan imut banget. Kalau aku nilai, dia masuk dalam 10 besar the most wanted girl di angkatan kita.”. ”Iya juga sih. Tapi gimana ya kalo aku coba pendekatan ke dia, mungkin aja masih ada peluang. Yang penting kan usaha dulu, masalah hasil itu nomor dua”, katanya. ”Iya deh, terserah kamu”, kataku tidak bersemangat.

Setelah kejadian itu aku mulai berpikir lagi untuk menjadi kekasih Dea. Aku sering curhat ke Luna masalah ini. Dan Luna agaknya tau juga kalau aku menaruh hati ke Dea. ”Udahlah Wan, santai saja. Masih banyak kok cewek yang bisa kamu pilih. Entar kalau udah benar-benar nggak ada, kamu boleh kok ngantri jadi calon pacarku”, kata Luna yang coba menghiburku. ”Udah deh Na, jangan memberiku harapan kosong”. ”Hei hei hei... ini bukan Awan yang kukenal. Awan sahabatku adalah orang yang tidak pernah putus semangat. Dia selalu berusaha, berusaha, dan terus berusaha sampai keinginannya tercapai. Ingat Wan, kamu yang mengajarkan kepadaku tentang apa arti sebenarnya berusaha. Kamu tidak pernah bosan memberiku semangat pada saat aku membutuhkannya, sekarang kok malah kamu sendiri yang jadi loyo. Gini aja deh, sekarang terserah kamu, kamu harus relakan salah satu. Andi sahabatmu atau Dea pujaan hatimu. Masalah cewek emang masalah sensitif”, katanya sambil berlalu.

Kata-kata Luna selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Kata-kata yang benar-benar mengena. Akhirnya kuputuskan untuk merelakan Dea.
Beberapa minggu kemudian aku mendengar kabar bahwa Dea telah menjadi kekasih Andi. Aku nggak tahu apakah ini kabar gembira atau kabar buruk. ”Selamat ya An, akhirnya keinginanmu tercapai”. ”Makasih Wan, sungguh kejadian yang sangat membahagiakan aku”, kata Andi bersemangat. Sejak kejadian itu, Andi lebih sering curhat masalah Dea dan menceritakan apapun yang berhubungan dengan Dea kepadaku. Meski sakit hatiku selalu kambuh bila Andi bercerita tentang hubungannya dengan Dea, aku tetap bertahan dan mencoba untuk melupakan usahaku mendapatkan Dea. Hasilnya aku dan Andi tetap menjadi sahabat, tetapi hubunganku dengan Dea makin parah. Aku jadi sedikit menghindarinya.

Tahun pertamaku di sekolah ini kulalui dengan nilai yang lumayan memuaskan. Meski tidak pernah masuk deretan 10 besar di kelas, aku tetap mensyukurinya. Ternyata masalah Dea dan Andi tidak terlalu mempengaruhi konsentrasiku di pelajaran. Luna masih tetap encer otaknya. Dia masuk 10 besar di kelasnya selama 2 semester ini. Begitu juga dengan Dea, ternyata dia termasuk jajaran siswa yang pandai.
Saatnya menjalani tahu kedua. Anggota kelas diacak lagi. Entah ini suatu keberuntungan atau kesialan, ternyata aku satu kelas dengan Dea dan Luna. Wah... suatu kebetulan yang benar-benar kebetulan. Hatiku berdebar-debar saat mengetahui kabar itu. ”Wan, kita satu kelas.”, kata Luna sambil memukul punggungku. ”Hehehehe.. kita mengulang masa-masa SMP dulu”, tambahnya. ”Iya iya... tapi jangan mukul gitu dong. Sakit kan....”, jawabku. ”Eh, tau nggak, kamu satu kelas ama Dea lo. Andi juga beda kalas ama kita. Hihihihi... apakah cinta yang udah lama terpendam akan muncul kembali ?”, kata Luna menggodaku. ”Huh, awas kamu ya”, cibirku. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat Dea datang menghampiriku. ”Wan, ternyata kita sekelas”, katanya. Wah wah.... benar-benar deh, kejadian yang tidak disangka-sangka. Dea menyapaku duluan ? Seperti dalam mimpi deh.

Selama 3 bulan pertama di kelas 2 aku dan teman-teman satu angkatanku menjalani Pendidikan Sistem Ganda. Aku di Surabaya, Luna di Malang, Dea dan Andi ada di kota asalnya Jember. Aku tidak pernah berhubungan sama sekali dengan Dea sampai akhirnya kembali ke sekoalah. Aku sudah hampir bisa melupakan Dea. Tetapi semenjak kembali ke sekolah, perasaan yang dulu kupendam mulai bersemi kembali. Tetapi aku tetap bertahan dan bertahan.
Nilaiku di semester 3 hancur. Eits... jangan salah sangka dulu. Ini bukan karena Dea, ini karena kesibukanku berorganisasi dan kelalaian dalam membagi waktu.
Semester 3 telah berlalu dan aku berniat memperbaiki nilai dan mengejar ketinggalanku selama semester 3.

”Wan, aku duduk di sebelahmu ya ?”. Aku menoleh. Wah... ternyata Dea yang bertanya kepadaku. ”Ada angin apa nih kok tiba-tiba pengen duduk di sebelahku ?”, tanyaku. ”Ah, ya pengen aja. Emang kenapa ? Nggak boleh ?”. ”Nggak juga sih. Cuma ya kok tumben aja.”, jawabku. Sejak saat itu selama hampir 6 bulan aku duduk bersebalahan terus dengan Dea. Sampai-sampai Nita yang selalu duduk di sebelahku sejak awal kelas 2 mengalah dan duduk di bangku lain.

Suatu hari Dea curhat ke aku masalah Andi. ”Wan, gimana misalnya aku putus ama Andi ?”. Duar...... suatu kata-kata yang kukira tidak akan pernah mungkin keluar dari mulut Dea. ”Eh, ada apa nih tiba-tiba ? Ada masalah apa ? Andi salah apa ama kamu?”, tanyaku. ”Nggak kok, ini bukan salah Andi. Cuma perasaanku aja kok yang mengatakan pengen putus ama Andi. Andi baik banget ke aku, dia sangat perhatian, dia selalu menuruti apa yang kumau. Tapi aku nggak tahu kenapa aku pengen putus dengan Andi”, kata Dea menjelaskan. ”Apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan Andi ?”. ”Belum”, jawabnya singkat. ”Udahlah Dea, mungkin ini Cuma bad mood aja. Mungkin kamu sedang bosan berpacaran. Coba deh kamu bicarakan dengan Andi, mungkin dia bisa memberikan solusi. Jangan semudah itu mengatakan putus Dea, jangan sampai kamu menyesal karena merasa salah mengambil keputusan.”, aku mencoba menasihatinya. Waktu terus berlalu dan Dea semakin sering cerita ke aku kalau dia benar-benar ingin mengakhiri hubungannya dengan Andi. Karena hal itu, kegundahan mulai muncul di dalam hatiku. Di satu sisi aku sangat menyayangkan apabila Andi berpisah dengan Dea, di sisi lain aku merasa kesempatan untuk mendapatkan Dea muncul kembali. Dea semakin dekat dengan aku setelah aku meminta dia menjadi vokalis di anggota bandku untuk menyanyikan lagu The Day You Went Away nya M2M. Entah kenapa waktu bandku mencari tambahan vokalis aku langsung mengusulkan Dea. Dan sampai sekarang lagu itu menjadi lagu kenangan buatku.

Kenaikan kelas tiba dan lagi-lagi hasil nilaiku masih belum bisa dikatakan memenuhi target. Banyak sekali kejadian-kejadian yang menjadi kenangan manis antara aku dengan Dea. Salah satunya pada waktu aku dan Dea menjadi anggota panitia kelompok pecinta alam. Waktu di atas gunung, entah kenapa aku ingin sekali memberikan perhatian lebih kepadanya seakan-akan aku sudah memilikinya. Namun kenangan itu hanya terasa manis buatku, karena cintaku bertepuk sebelah tangan.

Sebelum menjalani pendidikan Pendidikan Sistem Ganda tahap II, Dea pernah meminta saran padaku kalau dia ingin ditempatkan di Surabaya. ”Wan, aku pengen ditempatkan di Surabaya”, katanya. ”Yang benar aja ? Memangnya anak manja kayak kamu mau hidup sengsara di Surabaya ?”, godaku. Dia diam saja, aku langsung merubah nada bicaraku menjadi lebih serius. ”Udah bilang ke orang tua belum ?”, tanyaku lagi. ”Udah, katanya bolah kalau ada yang jaga”, jawabnya. ”Kan ada kamu Wan”, katanya. Deg... waktu mendengar kata-kata itu hatiku langsung tersentak. Aku sangat tidak menduga dia akan mengatakan hal seperti itu meskipun dapat dikatakan dia Cuma bercanda. ”Mmm... memang kenapa sih kok pengen di Surabaya?”. ”Ingin cari pengalaman saja kok.”. ”Ooo... ya udah, kalau memang direstui ama orang tua ya dijalanin saja”, kataku. ”Oh iya Wan, aku udah putus ama Andi”, katanya tiba-tiba. ”Eh, udah ya? Kapan ? Kok nggak ada kabar-kabar di sekolah”, tanyaku. ”Udah sejak parade musik sekolah kemarin. Mmm... baru dua minggu”, jawabnya.

Akhirnya Pendidikan Sistem Ganda tahap II dimulai. Aku dan Dea ditempatkan di Surabaya. Luna masih tetap di Malang. Dan Andi, dia tetap di Jember. Banyak sekali lejadian-kejadian yang membuat hubunganku dengan Dea menjadi semakin dekat. Pernah sekali dia marah kepadaku karena pada waktu perjalanan dari Malang ke Surabaya aku memilih bus yang penuh padahal dia ingin duduk di sampingku dan curhat ke aku. Akhirnya selama 1 hari aku didiamkan. Sebagai permintaan maaf aku menawarkan diri mengantarkannya ke toko buku.

Setelah 3 bulan berlalu akhirnya kami kembali ke sekolah. Aku satu kelas lagi dengan Andi dan Luna satu kelas lagi dengan Dea. Selama satu tahun di kelas 3 sekali lagi aku merasa bimbang. Andi yang sejak kembali ke sekolah menjadi teman satu bangku dan sering melakukan banyak kegiatan bersama-sama denganku. Dia juga sering curhat kepadaku masalah Dea. ”Wan, aku ingin balik lagi ama Dea. Menurutmu bagaimana?”, tanya Andi. ”Ya dicoba saja An”, jawabku singkat. Di satu sisi aku selalu mendukung Andi untuk kembali dengan Dea, di sisi lain aku juga berusaha mendapatkan tempat di hati Dea. ”Mengapa aku tidak dapat menahan egoku ? Mengapa aku tidak bisa mengambil keputusan ?”. Pertanyan yang sejenis seringkali muncul di benakku, seakan-akan aku adalah orang yang sangat munafik dan selalu dikejar-kejar kesalahan. Aku sering bersikap cuek ke Dea jika di sekolah dan di depan teman-teman lain. Tetapi bila aku sedag berduaan saja dengan dia meskipun hanya di telepon, aku selalu tidak bisa menahan keinginanku untuk memberikan perhatian lebih kepadanya. Saat di rumah pun aku sering teringat akan wajahnya, senyumnya, tawanya, pipinya, ekspresi wajahnya bila sedang marah atau malu. ”Mengapa aku tidak bisa melupakannya ? Padahal masih banyak cewek yang lebih menarik daripada dia. Memang perasaan cinta itu tidak bisa berbohong”.

Liburan puasa tiba. Aku merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman. Beberapa hari lagi kembali ke sekolah. Aku bisa ketemu lagi dengan Dea. Lintang Dea Lavina, sudah lama aku tidak mendengar canda dan tawanya. Aku Cuma sekali telepon ke rumahnya hanya untuk mengucapkan selamat hari raya.
Kring.... Kring .... tiba-tiba telepon berdering. ”Halo”. ”Halo, Awan ya ?”. Wah... aku hafal sekali dengan suara ini. ”Ada apa Dea ? Udah kangen ya ?”. ”Huh !! enak aja”. ”Wan, kapan balik ke Malang ? Besok ya ?”, katanya. ”Mungkin lusa”, jawabku. ”Ayolah Wan, besok ya”, katanya manja. ”Insya Allah ya, aku lihat keadaan dulu. Pokoknya kalau jadi aku kabari deh. Emang kamu sekarang di mana?”. ”Hehehe... aku masih di rumah Jember. Tapi hari ini ke Malang kok. Udah dulu ya, pokoknya kabari aku”, katanya riang. Setelah itu telepon ditutup. Aku berpikir sebentar, kemudian aku putuskan untuk berangkat ke Malang hari itu juga. Entah kenapa aku bisa begitu bersemangat untuk cepat-cepat menemuinya. Mungkin gara-gara pada waktu di Surabaya aku mendengar kabar dari teman satu kostnya di Malang yang bernama Niken kalau Dea juga ada hati ke aku. Tetapi aku tidak percaya begitu saja.

Besok paginya aku telepon ke tempat kostnya. ”Hai, mau nggak nemanin aku ke kota ? Aku mau beli dompet buat adikku”. ”Iya deh, tapi jam 10 aja ya kamu jemput aku”. Akhirnya aku bisa pergi berdua dengan Dea. Setelah mendapatkan dompet buat adikku, aku mengajak Dea beli makanan. Di situ dia banyak banget menceritakan tentang masa lalunya, keluarganya, dan tentu saja tentang Andi. ”Wan, rasanya jadi jojoba itu aneh ya ?”, katanya. Jojoba adalah singkatan dari Jomblo-Jomblo Bahagia. ”Kalau aku hentikan jojobamu gimana ? Pasti kamu tolak ya ?”, tanyaku tiba-tiba. ”Hehehehe.....”. Dea Cuma meringis saja mendengar perkataanku. ”Bodoh banget perkataanku barusan. Kalau dia merasa bisa kacau”, umpatku dalam hati kepada diriku sendiri. Jadi ingat lagunya Robbie William dan Nicole Kidman yang judulnya Something Stupid. “....... and then I go and spoil it all, by saying something stupid like I Love You .....”
Setelah menghabiskan makanan itu, aku dan Dea pulang ke tempat kost kami masing-masing. Sejak saat itu aku juga semakin sering keluar berdua dengan Dea. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan.
Akhirnya masa-masa ujian semakin dekat, dan aku semakin sibuk dengan persiapan-persiapan belajar. Satu-satunya kesempatan untuk bicara berdua adalah saat latihan band.
Setelah Ujian Akhir Nasional usai sekolah mengadakan rekreasi ke Bali. Aku mempunyai rencana untuk menanyakan kesediaannya untuk menjadi kekasihku. Tetapi segalanya menjadi kacau karena aku hampir tidak ada kesempatan berdua dengan Dea. Selain itu aku juga masih terbayang-bayang oleh persahabatanku dengan Andi. Maka kuurungkan niatku untuk menyatakan perasaanku. Aku Cuma sempat foto berdua dengannya. Yah... aku rasa itu sudah cukup. Lagi pula aku sudah merasa kalau dia juga ada rasa ke aku.

Sambil menunggu keluarnya hasil ujian, aku pulang ke rumah. Tiba-tiba telepon berbunyi. Aku angkat ternyata Dea. ”Wan, kamu mau nggak ikut naik ke Coban* ? Ayolah Wan, ini terakhir deh. Aku juga lagi sakit nih”, katanya merayu. ”Kalau sakit kenapa maksain ikut ?”. ”Aku pengen banget ikut sih. Ayo dong Wan, aku janji ini yang terakhir”. ”OK deh, aku usahain. Aku tanya dulu ke ibuku ya”. ”Huh !!! Dasar anak mama”, katanya sambil menutup pembicaraan. ”Sialan !! Masa’ aku dibilang anak mama. Aku tak akan melupakan hal ini”, umpatku dalam hati.
Besoknya aku sudah di sekolah. Ketika ketemu, Dea langsung tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya hari Rabu kami berangkat. Selama di rumah aku berpikir tentang keputusan yang harus kuambil, dan kali ini kuputuskan untuk merelakan sahabatku Andi. Banyak sekali kesempatan untuk menyatakan perasaanku selama di Coban. Tetapi aku rasa aku menyianyiakan semua kesempatan itu. Akhirnya sampai pulang pun aku belum menyatakan perasaanku. ”Huh !! Betapa bodohnya aku. Aku menyia-nyiakan kesempatan”, aku menyesal dalam hati.

Besoknya aku ketemu dengan Luna. ”Wan, gimana perkembangannya ?”, tanya Luna. ”Perkembangan apa lagi Na ?”. ”Itu lo, udah ditembak belum si Dea ?”. ”Belum Na, masih bingung nih ...”. ”Hei, bingung apa lagi sih kamu ? Kamu tuh udah pasti diterima kalau kamu menyatakan perasaan kamu. Yang tegas dong. Masa’ cowok kok nggak tegas sama sekali”, omel Luna. ”Tapi Na...”. ”Nggak ada tapi-tapian. Ayo dong, tunjukin kalau kamu mampu. Kalau ditolak itu memamng sudah nasib”. ”Masalah Andi ?”, selaku. ”Lagi-lagi Andi, kenapa sih kamu selalu memikirkan dia ? Sekali-kali pikirkan dong perasaan kamu sendiri, perasaan Dea, kurasa Dea sudah menunggu ketegasan kamu. Ayo dong Wan... Aku kasih saran ya... Sebaiknya kamu cepat menyatakan perasaan kamu deh, keburu dia berubah pikiran. Lagian, kalau Andi benar-benar sahabat kamu, mestinya dia bisa ngertiin kamu. Ingat Wan, yang namanya perasaan itu nggak bisa berbohong. Kalau suka ya suka, kalau nggak ya nggak”, lanjutnya. Setelah pulang sekolah langsung aku ngomong ke Dea. ”De, nanti malam ikut aku ya ngambil foto rekreasi kemarin”. ”Entar deh keputusannya, habis latihan band”, jawabnya.
Setelah latihan band dia bilang ke aku ”Wan, nanti jemput aku jam 18.30”. “OK deh“, jawabku.

Tepat pada waktunya aku menjemput Dea, tapi biasalah cewek kalau berias lamanya minta ampun. “Kamu udah makan belum ?“, tanyaku berbasa basi. “Belum“. “Makannya entar aja ya, ngambil foto dulu“. “Iya deh“, jawabnya singkat. Setelah ngambil foto, kami makan. Di tengah-tengah makan aku melancarkan aksiku untuk menyatakan perasaan.
”De, aku ..... suka ama kamu”. Deg.. deg .... deg .... suara detak jantungku seakan-akan terdengar sampai ke telinganya. Tiba-tiba dia menoleh.
”Hehehe... Aku udah tau itu”
“Hah.. !!??“
“Iya, aku udah tau dari dulu Wan“
Dia kemudian meneruskan makan seakan-akan perkataanku tadi hanya sebagai angin lalu saja. ”Trus ?? Gimana ?? Aku ingin tahu respon kamu. OK deh, aku kasih waktu 3 hari maksimal untuk jawabannya. Kalau lebih dari 3 hari nggak ada respon berarti aku anggap aku ditolak.”, ucapku.
”Udahlah Wan, nggak usah lama-lama. Kasih waktu aja 4 menit”.
Gara-gara kejadian itu aku jadi ingin buang air kecil. ”Aku ke toilet dulu”. ”Wah, kok cepat banget ya. Terserah deh, aku pasrah saja”, kataku dalam hati.
4 menit berlalu bagaikan 4 jam, lama banget.
”Udah, gimana De jawabannya ?”
”Gini Wan, aku sudah tahu masalah ini sejak dulu. Aku sudah merasa.”
”Trus jawabannya ??”, aku tidak sabar mendengar jawabannya.
”Terus terang, aku juga punya perasaan yang sama dengan kamu”, Dea berkata sambil tersenyum malu. Lega sekali setelah aku mendengar kata-kata itu, sesuai yang kuharapkan. Ternyata benar kata Luna, Dea pasti menerima aku. ”Makasih ya De, ini adalah hal yang paling membahagiakan aku saat ini”.

Hari-hari kulalui dan tibalah saat wisuda. Bertambah lagi kebahagiaanku karena aku termasuk dalam 10 besar paralel meskipun sebagai juru kunci dan menempati peringkat ke-7 di kelas. Ternyata usahaku untuk melebihi Dea membawa hasil. Waktu itu aku bertekat untuk bisa menang terhadap orang yang sangat aku sayangi di sekolah. Terima kasih Dea, terima kasih Luna, dan terima kasih Allah SWT. Karena kalian semua aku bisa meraih banyak hal dalam studi maupun hal lainnya. Maafkan aku Andi, perasaan memang tidak bisa berbohong.


* Coban : Air terjun.
* Jojoba : Jomblo-Jomblo Bahagia.

5 Comments:

  • awawawwaa..iki true story opo cerpen Ngga..hiehiehiehe..:p

    gud..gud...

    By Blogger elydevi, at 9:02 AM  

  • baiyuh,,, diungkap setajam,,, S.I.L.E.T hehehehhehe,, aw aw

    By Blogger cindymon, at 5:21 PM  

  • pak ketok e nama pelaku kudu diralat iki pak :P

    By Anonymous Anonymous, at 1:30 PM  

  • waks,, ceritane,, tika, rengga, dan pam bangetttttttttt.,..
    hakhakhakkkk

    By Anonymous Anonymous, at 3:16 PM  

  • hahaha....koyok cerita sinetron ae reng gareng...kakehan nonton sinetron arek iki ...ckck....

    baru ngerti lek ternyata begitu ceritanya hahaa...

    By Anonymous Anonymous, at 8:21 AM  

Post a Comment

<< Home